Love In Rain

Kaki kecil itu berlari menyisiri sudut rumah. Membuka pintu demi pintu. Memasuki pintu selanjutnya yang tanpa perlu dibukanya, menganga lebar, langkahnya terhenti. Sedikit susah bernapas, tersenggal-senggal.
“Wah, cantiknya…” mata indah kecil itu memandang tanpa berkedip. Takjub dengan yang ada di hadapannya. Seorang wanita berbalut gaun indah membelakanginya. Sinar matahari yang melatar belakanginya menyinari dari jendela besar. Pagi indah datang. Semalam hujan singgah, menyentuh atap dan jendela. Mengalir, menyisakan embun pagi yang menyelimuti perkebunan apel. Cahaya matahari mengambang di antara kabut Kota Batu, Malang.
Terkesan mengagumkan, bagaikan melihat sosok bidadari. Benar-benar…
“Kaukah itu April?”
Wanita itu menoleh menyadari kedatangan gadis kecilnya.
“Kemari, sayang.”
Gadis kecil yang disebut April, melangkah menghambur ke pelukan wanita tersebut. Berlari kecil. Mata bulatnya menatap lekat-lekat sosok yang di hadapannya. “Tante Mery bahagia?” tanyanya.
“Kau, apakah juga bahagia?” wanita itu balas bertanya.
April menggangguk keras. Senyumnya mengembang lebar.
“Aku juga ingin seperti Tante.”
“Kenapa?”
“Aku ingin terlihat cantik dengan memakai baju pengantin itu. Boleh aku memakainya?”
“Kau masih tujuh tahun, sayang. Tubuhmu belum muat memakainya”
“Bisakah aku seperti tante?”
Tante Mery menggangguk.
“Benarkah?”
“Asal kau telah menemukan pangeran berkuda putih mu.” Tante Mery membelai lembut rambut April yang lurus.
“Bagaimana caranya?”

“Kau benar-benar pengantin wanita tercantik yang pernah kulihat,” Miss Kim memeluk erat April. “Terima kasih banyak,” bisiknya.
“Tidak, Miss Kim. Kau yang banyak berperan dalam semua ini.”
Miss Kim melepas pelukannya, matanya yang biru menatap April, “Akan kunaikkan gajimu bulan ini.” April menyeringai tertawa. Bagaimana tidak, selama bekerja dengan wanita setengah Spanyol setengah Korea itu, belum pernah ia menerima gaji yang lebih dari gaji bulannya walaupun Miss Kim sering mengatakannya jika April membantunya dengan sangat baik.
Kini April telah berumur 22 tahun. Selepas lulus sarjana strata satu dengan predikat cumlaude, sebuah perusahaan pakaian terkenal di kota Malang langsung menerimanya bekerja sebagai desainer begitu ia memasukkan lamaran. Belum genap setahun bekerja di perusahaan ini, banyak prestasi yang telah ditunjukkan April dalam membuat pakaian. Ketika perusahaan akan meluncurkan produk terbaru mereka, April mendapat kesempatan emasnya ikut andil dalam membuat gaun rancangannya sendiri. Tentu bisa dibayangkan bagaimana luapan perasaan April dalam proyek ini.
Dan hari inilah, gaun-gaun yang mengusung tema Wedding Dress diperlihatkan dalam pameran.
emua berjalan dengan sangat mulus sebelum acara berlangsung, hingga tiba-tiba saja salah satu model yang akan memeragakan gaun rancangan April tidak bisa dihubungi. Menghilang tanpa kabar. Sedikit rusuh di belakang karena acara tinggal satu jam lagi. Beberapa staff memutuskan untuk tidak memamerkan karya April karena sudah tidak ada model yang dapat dipakai. Hal ini jelas membuat April begitu kecewa yang telah mempersiapkan gaunnya jauh-jauh minggu. Namun secercah sinar datang dari Miss Kim. Ia memaksakan semua rancangan harus dipamerkan. Perancangnya sendiri yang harus bertanggungjawab. Dan itu berarti April yang menjadi modelnya sendiri atas gaun rancangannya.
Siapa yang menyangka, seseorang yang belum pernah menjejakkan kaki di atas catwalk bahkan bukan seorang model, berhasil melenggak lenggokan tubuhnya. Didukung paras elok dan tubuhnya yang semampai, April bagaikan peragawati sejati di atas panggung. Semua yang menonton bagaikan tersihir dan terpesona akan kecantikannya.
“Menolehlah, pangeranmu menunggu.” ucap Erna, rekan kerjanya, menatap ke arah pengunjung yang memadati hall Mall Malang Town Square yang digunakan tempat pameran pakaian tersebut.
April memandang sekeliling. Matanya langsung menangkap sosok laki-laki berjas putih menerobos kerumunan pengunjung. Tangannya melambai ke arah mereka.
“Kalian seperti sepasang pengantin,” seru Erna, begitu laki-laki tersebut mendekat. “Kau tampan sekali, Okta.”
Okta yang disanjung, tertawa kecil. “Thanks, Erna.”
Okta mengalihkan pandangannya dari Erna ke April. Senyumnya mengembang. Tangannya meraih, menggenggam April. Sebelah tangannya merogoh sesuatu di balik jasnya. Tampak kotak kecil merah di tangannya kini. Untuk sesaat April tidak bisa menemukan suaranya. Ia hanya bisa menatap. Okta tanpa berkedip. Napasnya tertahan.
“Aku tahu saat itu bukan saat yang tepat,” kata Okta, lalu tertawa kecil. Ia memandang ke sekeliling hall yang dipenuhi orang-orang. “Maukah kau menikah denganku?”

“Abdul Rachmad Saleh, pak.”
Sopir taksi yang ditumpangi menatapnya tanpa ekspresi. Belum juga membalikkan badannya untuk segera mengemudi.
“Bandara.” Ucap April, ia merasa perlu menegaskan. “Aku tidak punya waktu lagi. Tolong cepat, pak.”
Pak sopir pun menginjakan gas. Dan taksi pun melaju kencang, melesat meninggalkan hotel.
Duduk sekian menit dalam taksi, April menyadari kebodohan aksi yang baru saja dilakukannya, setelah menenangkan diri menarik nafas. Pikirannya terpecah. Entah gunjingan apa yang akan diperolehnya. Semua serasa gila. Dan April tidak akan mungkin segila ini jika tidak bertemu dengan Janu.
Janu, teman semasa kuliah muncul di saat kebahagiaan menjelang, membawa tabir rahasia lama kepadanya.
“Kau benar-benar cantik, Pril. Bisa kutebak pasti gaun itu rancanganmu sendiri?” suara Janu memecah remang suara rintik hujan yang turun sedari pagi.
April hanya mengembangkan senyumnya.
Senyap.
“Dani. Kau tahu kabarnya Dani?” suaranya lirih, namun cukup terdengar.
Ruangan kamar hotel tiba-tiba senyap. Hanya mereka berdua. April ingin leluasa bercakap dengan Janu, setelah sebelumnya meminta beberapa orang yang ada di ruangan meninggalkan mereka di dalam.
“Dia di Malang sudah sekitar 5 hari lalu. Dani sukses menggelar pameran lukisan-lukisannya. Dia benar-benar menjadi yang seperti dinginkannya. Ah, aku benar-benar bangga. Dani seorang pelukis terkenal, kau sebagai designer muda dengan bayaran termahal, sedangkan aku walau tidak menjadi sebagai yang kuinginkan, menjadi konsultan nutrisi.”
Janu tertawa.
“Itu sudah luar biasa, Nu.” ujar April. “Banggalah dengan yang kau raih.”
Janu menghela napas, melanjutkan.
“Tentang Dani. Sengaja memang dia menggunakan kota ini karena selain merindukan masa-masa kita di bangku kuliah, dia ingin bertemu denganmu. Besok penghabisan terakhirnya di sini. Namun ketika mendengar kau akan menikah, dia memutuskan meninggalkan Malang hari ini“. Janu menjelaskan. Napasnya berat pada kalimat terakhir, seakan beban itu tertumpukan padanya.
Terdengar suara gemuruh hujan. Di luar gerimis mulai menderas.
April tertunduk dalam-dalam, matanya menatap cermin bulat meja rias di hadapannya. Terdiam memandangi bibir merah, pipi pink merona, mata cokelat dengan garis pinggir tajam dan kelopak mata lentik serta alis tipis yang sedikit dikerik menggaris di atasnya.
“Jemputlah, jika kau memang mencintainya.”
April mengangkat kepalanya, menoleh ke arah suara itu berbicara. Nafasnya tercekat.
Okta yang muncul di ambang pintu. Bergetar dia bersuara. Apakah dia mendengar semuanya. Bibir merahnya mengerut.
April berdiri menghampiri Okta. “Tidak, Okta. Pernikahan ini harus terus berlanjut.” Tangannya menggenggam erat Okta.
Sang calon mempelai pria, menggeleng. “Kau bahkan sudah tidak memanggilku dengan panggilan sayang.” Bibirnya dipaksanya mengembang. Tertawa kecil. Sejenak senyap.
“Pergilah. Aku tahu kau mencintainya semasa kuliah, bahkan sebelum aku dekat denganmu. Akan kuatasi semuanya di sini.”
April memeluk Okta, matanya mulai berair. Terakhir Okta mengecup kening April. Dan melepasnya. Senyum Okta tulus mengiringi.
Hujan yang turun semakin lebat. Buru-buru April membuka layar telepon genggamnya. Tegang. Memanggil nomor yang diberikan Janu. Tidak ada balasan. Mencoba sekali lagi. Tetap tak terjawab. Sama sekali tidak bisa dikontak. Celaka, sungguh celaka, jikalau sampai Dani menaiki pesawat, mengantarkannya ke Jepang, maka semua ini berakhir sudah. April tidak akan bisa melihatnya lagi.
Pikirannya terpecah.. April tidak akan mungkin segila ini meninggalkan gedung pernikahan agung dan berlari mengetop taksi dengan masih mengenakan gaun putih.
“Cepat. Lebih cepat lagi, pak.”
Sial, lima belas menit menuju bandara, taksi terhenti. Banyak kendaraan terhenti pula di depan, macet.
“Bagaimana ini, jelas akan memakan banyak waktu”, April mengeluh setengah kecewa.
Penerbangannya jam 16.00
Itu yang dikatakan Janu.
Tanpa pikir dua kali, April langsung membuka pintu taksi. Setelah membayar, ia berlari seraya mencincing gaunnya, menuju bandara yang jaraknya beberapa meter. Menerobos hujan yang kian lama kian lebatnya.
Setiba di Abdul Rachmad Saleh, memaksa masuk pintu check-in. Dua petugas yang menjaga pintu pemeriksaan terlihat bingung menghadapi perempuan bergaun pengantin yang berseru-seru memaksa masuk. Tatapannya yang memelas dan tegang memohon, akhirnya berhasil membujuk petugas. Berlarian menuju ruang tunggu bandara.
Oh, itu dia. Mata April terbelalak. Dia masih menghapal sosok Dani. Dalam sesaat senyumnya terbentuk. Namun sudah terlambat, Dani sudah berjalan di balik kaca meuju garbarata pesawat. April berteiak-teriak memanggilnya. Percuma. Kaca itu kedap suara. Memukul-mukulnya. Sia-sia. Dani sudah masuk ke dalam garbarata. Kali ini April tidak berhasil memaksa petugas pintu boarding mengijinkan mereka menerobos masuk ke landasan pacu bandara. Itu prosedur yang tidak bisa dilanggar dengan alasan apapun.
April menatap kosong pesawat yang mulai berputar menuju runaway. Bersiap berangkat. Lima menit, Pesawat itu menderu lepas landas. Menuju langit yang membiru. Menyisakan lengang di balik kaca tebal ruang tunggu.
Seluruh tubuh mendadak mati rasa. Tidak dapat melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa bersuara. Tidak bisa merasakan apa-apa. Kecuali sakit dada ini, begitu sakit. Hal satu ini yang bisa April rasakan, tak terperihkan, menyesakkan. Hatinya seperti tercabik. Belahan-belahannya menghilang tersebar. Sebagian seakan terbawa deru pesawat yang membumbung tinggi, yang baru saja meninggalkan landasan.
Semua telah terlambat. Mata April berkaca-kaca. Ini sudah melewati waktu. Sesaat ketika dalam taksi, tidak dipedulikannya apa dikata para tamu yang datang, keluarganya dan keluarga Okta tentunya, nanti. Namun kini, dia bingung. Haruskah kembali lagi?
“Bagaimana, mbak?” tiba-tiba sopir yang membawa April datang mendekatinya begitu melihat April lesu keluar bandara. “Saya antarkan pulang saja ya. Hujannya masih deras saja dari tadi, mbak”.
April menatap sopir taksi yang memayunginya dengan lindungan payung. Terisak. Tangannya meraih bahu pak sopir, memeluknya. Tangis mulai keras.
“Sial, aku tidak membawa payung dan aku sudah kedinginan. Dan tega-teganya kau berpelukan dengan orang lain.”
April terperanjat. Menoleh. Dia tahu suara siapa itu.
“Okta…”
April terisak.
“Maaf, tak seharusnya aku begini. Bolehkah aku kembali?”
“Kapan pun kau mau. Pintu hatiku selalu terbuka untuk mu.” Ujar Okta
Mata mereka bertautan. Berpelukan.
“Wah, hujannya reda.” Ujar sopir taksi.
Sinar matahari muncul menyirami Malang yang beberapa hari terguyur hujan, dengan silaunya. Agaknya April tidak peduli cuaca apa sekarang. Entah langit kelabu atau tidak. Langit hatinya mendadak cerah lembayung.
Kau, Okta, yang melukisnya.
Aku janji, akan mencintaimu selamanya,

Kaki kecil itu berlari menyisiri sudut rumah. Membuka pintu demi pintu. Memasuki pintu selanjutnya yang tanpa perlu dibukanya, menganga lebar, langkahnya terhenti. Sedikit susah bernapas, tersenggal-senggal.
“Aku juga ingin seperti Tante.”
“Asal kau telah menemukan pangeran berkuda putih mu.” Tante Mery membelai lembut rambut April yang lurus.
“Bagaimana caranya?”
Tante Mery mendekatkan wajahnya. “Dia yang setia menunggumu dan paling mencintaiu, itulah cinta sejati pangeran berkuda putihmu.”

Pages

kholil sidik. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Pengikut

About Me

Foto saya
namaku sudah tertulis diatas, saya rasa tak perlu kenalan lagi heee... kalo penasaran silahkan cari cara untuk tau tentang saya.. heee... salam saudara.....

Blogger news

MUZIIEEkkk

Korean Drama Full House OST Sha ...
Loading the player ...

Blogger templates